Pisces's BLog: JANGAN BENCI AYAHMU, NAK…!!

20 Agustus 2009

JANGAN BENCI AYAHMU, NAK…!!

Pagi yang sama selalu terulang, 17 tahun ku sambut dengan desiran lirih angin pagi yang beradu dengan butiran embun menyejukkan. Ku pergi ke taman belakang rumah, terhampar tanaman yang memanjakan mata, disana terlihat ibuku yang lagi sibuk dengan pekerjaannya. Setiap pagi ia sempatkan untuk selalu memeriksa kondisi berbagai tanaman yang tak terlalu penting menurutku.

“Selamat pagi buk…!” sapaan yang tak pernah bosan ku ucapkan. Ayo pulang..!! aku mencoba untuk menghentikan pekerjaannya.

“Sebentar lagi, nak! Kalo kamu udah ngerasa laper, sarapannya sudah ibu siapkan di atas meja makan” jawabnya dengan senyum yang selalu akan jadi semangatku untuk mengarungi hidup yang tak lagi bermakna buatku.

Dengan pakaian seragam putih abu-abu yang sebentar lagi akan aku abadikan di lemari, aku udah siap untuk berangkat menuju sekolah yang mereka anggap tempat favorit, tapi kayaknya terlalu berlebihan untuk sekolah yang hanya memelihara murid-murid yang pantasnya menjadi foto model.

“Assalamu’alaikum…!!!” pamitku,

“Wa’alaikum salam, hati-hati di jalan!!” pesan yang selalu sama yang terselip doa mengiringi langkahku mencari ilmu yang diharapkan mampu mengubah nasibku.

Dengan sepeda tua yang mestinya sudah jadi barang rongsokan tapi tetap aku pakai sebagai kendaraanku ke sekolah, ku taklukkan jalan yang entah berapa jumlah belokannya dan batu kerikil yang mencobahentikan semangatku mengayuh.

***

“Pagi pak..!” aku menyapa security, orang yang selalu datang pertama ke sekolah.

“Pagi bener kamu datangnya hari ini”. Jawabnya dengan gurauan, yang ia tau biasanya akulah murid yang yang terlihat paling akhir datang ke sekolah, dan karena itu juga aku bisa kenal dengan pak puji nama panggilnya. Tiap aku telat, keluarlah rayuan dan bujuka-bujukan yang aku harapkan bisa meluluhkan hati pak satpam itu buat bukain pintu pager sekolah yang mestinya jam 7 kurang seperempat harus terkunci.

“pagi ini sepedaku lagi ga’ rewel pak,” aku menjawab candaan itu sambil menempatkan sepeda ku di tempat paling pojok di parkiran biar pulangnya gampang di keluarin.

“Aku ke kelas dulu pak…!” teriakku sambil jalan dengan menatap tempat pak puji yang lagi duduk santai dengan kepulan asap rokok yang terlihat keluar dari bibirnya yang se akan tertutupi oleh kumisnya itu.

***

“Keluarin selembar kertas, dan masukkan buku-buku kalian..!” kata guru matematika yang tak pernah aku dan anak-anak yang lain harapkan, tapi bukan pak darto namanya kalo ngga’ pernah ngasih kejutan tiap pertemuan jam mata pelajarannya dengan mengadakan ulangan atau pre test tanpa pemberitahuan sebelumnya.

“Bagi yang ketauan menyontek akan dikurangi 50%” ancaman yang sangat ampuh buatku dan murid yang lain untuk mengerjakan soal-soal itu sendiri.

Kertas mulai dibagikan, terlihat angka-angka yang teramat jlimet untuk dijumlahkan dengan berbagai macam rumus yang pernah ia ajarkan. Pelajaran yang kali ini di ujikan adalah tentang trigonometri dan setau aku cuma tiga kata yang merupakan rumus umum materi tersebut yaitu “sin, cos, tan” . waktu 60 menit terasa sangat cepat dalam mengerjakan 10 soal ujian. Alasan klasik yang terkandung dalam pengadaan pre test, guru-guru bilang katanya bertujuan untuk melihat kemampuan siswa menyerap pelajaran yang sudah di ajarin sebelumnya. Mungkin itulah sebabnya pak darto ngga’ pernah bosan untuk memberikan ujian pada murid-muridnya.

“Ini ulangan terakhir untuk kalian, minggu depan kalian akan menghadapi ujian akhir semester(UAS) yang nantinya akan di susul dengan UAN” kata-kata terakhir yang pak darto ucapkan sebelum ia keluar dari ruangan kelas.

***

Bu rika membagikan surat undangan yang ditujukan untuk kedua orang tua murid. Surat itu tak lain adalah acara perpisahanku dengan teman-teman yang lain kelas XII, dan acara ini di adakan setelah satu minggu pengumuman kelulusan UAN. Alhamdulillah, semua murid di sekolahku lulus. Dengan wajah summringah teman-temanku menerima surat perpisahan ini kecuali aku yang kenyataannya tidak akan mungkin datang dengan ayah.

“Usahain Ibumu datang ke acara ini ya!” suara ibu Rika memecahkan lamunanku akan sosok ayah.

Iya bu..!! jawabku dengan nada yang hampir tak terdengar.

Bu Rika tau keadaan keluargaku. Dari kecil aku hanyalah seorang anak tunggal yang ngga’ pernah sekalipun mencicipi kecupan sayang seorang ayah yang selalu teman-temanku rasakan. Dan bu Rika adalah orang yang selama ini ikut membantu membiayai sekolahku, tentunya dengan beasiswa juga. Kebetulan aku bebas bayar SPP cuman untuk keperluan sekolah yang lainnya aku sering di bantuin sama ibu Rika yang tak lain adalah sahabat ibuku dulu waktu sekolah.

***

Malam perpisahan yang mengharukan, aku menyalami guru-guru secara giliran dengan murid yang lain. Mereka yang sibuk dengan gaya ini itu untuk mengabadikan malam yang mungkin akan jadi terkhir buat mereka untuk berstatus sebagai murid SMA dengan ibu dan ayah yang setia mendampingi disamping mereka, dan aku cuma duduk berdua dengan ibuku di tempat yang aga’ mojok.

“Mereka datang dengan ayahnya”, suaraku seakan mengemis untuk segera ditemenin ayah.

Ibu mencoba menghiburku, tapi itu tidak akan merubah suasana hatiku yang terlanjur membenci ayahku. Karena aku tau perjuanngan ibu yang merawatku seorang diri. Ibu yang teramat aku cintai dan karenya pulalah aku mempunyai secercah harapan untuk tetap mengarungi hidup ini. Karena kehidupan keluargaku yang single parent, ibu sering di omelin tetangga dan selalu menjadi bahan omongan dimana kalau yang namanya janda akan mencoba menggoda suami-suami mereka. Tapi ibuku menanggapinya dengan perasaan tenang, baginya tidak pernah sedikitpun terbesit dalam pikirannya untuk mencari pengganti ayah. Ayah yang aku benci tapi ibu selalu bilang kalau ayahku adalah orang yang paling berarti dalam hidupnya.

“Jangan benci ayahmu, Nak!” kata yang masih terdengar tulus meskipun aku kira ia udah terlanjur disakiti.

“Ayah, yang sudah menjadikan hidup kita melarat kayak gini bu.!” Aku mencoba cari alasan untuk tetap membenci sosok ayahku yang sebenarnya aku rindukan kehadirannya.

Dan Ibu tetap meyakini kalau Ayah adalah pahlawan hidup kami. Dengan cucuran air mata ibu menceritakan apa yang sudah ayah lakukan yang selama ini tidak pernah ia ceritakan. Ayah yang selamana ini tidak aku ketahui bagaimana sosoknya tak lain adalah sosok seorang suami yang rela mennjual ginjalnya demi biaya persalinan Ibu waktu melahirkanku tentunya. Aku yang terlahir dengan operasi sesar menurut cerita ibu, memerlukan biaya yang tidak akan pernah sanggup ditembus mengingat ayah dan ibu hanya seorang petani biasa. Dan hal yang tidak pernah ayah bicarakan dengan ibu sebelumnya dilakuinnya demi kelahiran anak yang nantinya ia harapkan akan menjadi orang hebat yang mampu mengubah nasib keluarga dan demi cintanya kepada seorang istri. Tapi Tuhan punya rencana sendiri meski terkadang tak sesuai dengan keinginan manusia, satu minggu setelah proses kelaharianku ayah meninggal dunia. Ia belum sempat melihat aku tumbuh besar dan menjadi orang yang ia harapkan.

“Ayah, semoga ayah tenang disisiNya.”Do’aku

“Akan aku buktikan, aku bisa menjadi anak yang bisa menbanggakan Ibu dan Ayah tentunya disana”. Harapanku

0 komentar:

Don't click here!