Pisces's BLog: 1 Tahun Bersamamu

21 Agustus 2009

1 Tahun Bersamamu

“Cinta tidak menyadari kedalamanya, Sampai ada saat perpisahan.”

-Kahlil Gibran-

Dua hari lagi akan aku ungkap meski menyakitkan. Tak penting lagi, memikirkan apa reaksimu karena sungguh rasa bersalah itu tak juga hilang. Satu tahun bersamamu tanpa cinta yang mestinya ku berikan untukmu membuatku terbelenggu bersama rasa ini. Tapi, kelegaan atas pembebasanku dari perasaan ini dua hari lagi tepat disaat kau dan aku bersama.

Kau dengan kebaikanmu tak mungkin begitu saja dapat terlupakan. Orang yang ku rasa tak pantas untuk dipermainkan. Kesabaran yang luar biasa menurutku, saat kau bersusah payah meredam amarahku yang sudah tak terhitung lagi untuk kesekian kalinya ku memakimu tanpa kau tahu apa salahmu dan tanpa kau mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kau yang teramat khawatir ketika melihatku tak berdaya menahan rasa sakit pada kakiku yang waktu itu luka karena aku tergelincir. Kaulah yang tak henti menyirami kesejukan dalam setiap keresahan yang ku rasakan. Mencoba untuk melucu meski kau tahu itu tak lucu namun kau terus bergaya seperti badut yang tak lain dalah uasahamu untuk bisa membuatku tertawa.

Tapi, aku sudah memikirkan apa yang akan aku lakukan pada saatnya. Yakin inliah yang mestinya ku lakukan.

***

Dering HP membangunkanku dari tempat tidur, meski setengah hati untuk membuka pesan yang baru masuk itu. “Besok aku jemput jam 8 ya..” isi pesan yang ternyata jam dimana aku dan kau akan jalan-jalan ke tempat yang terlalu sering kita kunjungi tanpa pernah bosan menggoda kita. Tanpa berfikir untuk memnbalasnya aku kembali membaringkan badanku yang dari tadi sudah kehabisan tenaga karena seharian di kampus dengan tugas yang terus menganiaya pikiran tanpa mengenal sapa dan bagaimana mahasiswanya bersusah payah menyelesaikannya.

Aku membayangkan apa yang akan terjadi besok. Kata-kata seakan telah mantap ku rangkai dan siap untuk ku ucapkan tanpa memikirkan apa reaksimu dan bagaimana setelah semua berlalu.

“Aku pasti bisa!” suara hatiku meyakinkan.

Aku terus membolak-balikkan tubuhku, kesunyian malam yang terus menyelinap tetap tak dapat membuatku tertidur. Keresahan yang semestinya menjadi kebahagian, dan aku pun tidak bisa menemukan jawaban atas semua yang terjadi malam ini. Tak mungkin aku keluar dari kamarku angin terlalu dingin untuk dinikmati. Dengan lampu kamar yang sudah sedari tadi aku matikan mestinya bisa membantuku mengatasi ini, namun tetap saja itu tak berguna.

***

Pagi menyapa dan tiada yang ku leawatkan untuk sekedar menikmati keindahannya. Seteguk teh hangat membatuku untuk menghangatkan tubuh yang ku rasa hari ini terasa dingin. Sang surya masih tampak kemerahan dan belum sepenuhnya memamerkan cahanya yang akan teramat panas di atas jam 12. Nyanyian- nyanyian ku lantunkan dengan menggoyangnkan tubuh ke kanan dan ke kiri seolah mengikuti alunan lagu yang ku dengar dari radio.

“Lagu favoritku diputar” gumamku ketika mendengar lagu.

Lagu rindu dari kerispatih, sedikit menyinggung akan apa yang aku rasakan. Aku tak memungkiri seminggu tanpa kontak, kerinduan itu menghampiriku.

Taukah engkau wahai langit

Ku ingin bertemu membelai wajahnya

Ku pasang hiasan angkasa yang terindah hanya untuk dirinya.

Lagu rindu ini kuciptakan

Hanya untuk bidadari hatiku tercinta

Walau hanya nada sederhanya

Izinkanku ungkap segenap rasa dan kerinduan

Potongan bait yang bisa menjadi suara hati yang mungkin tak ingin ku rasakan, tapi apalah dayaku rasa rindu itu kini benar-benar memaksa hati untuk merasakannya. Terdengar aneh menurutku, mengingat selama ini perasaan itu tak sedikit pun mampu goyahkan hati akan sosok lain yang lebih berarti buatku dan itu bukanlah dirimu. Namun, apa pun itu ku tetap memanjakan hatiku untuk sejenak merasakannya.

Dua jam berlalu, dan aku telah siap dengan baju biru yang menjadi kesukaanku. Pagi ini aku memakainya untuk menikmati hari yang mungkin membebaskanku dari rasa bersalahku. Dengan kerudung putih yang terlihat sempurna dengan bros bintang warna biru yang tak lain adalah pemberianmu. Jam tanganku tepat mengarahkan jarumnya ke angka delapan dan dua belas. Tidak ada tanda-tanda bahwa kau telah datang. Dengan HP yang masih tergeletak di meja, aku mencoba meraihnya dan menggoyangkan jempolku menekan tombol dari rangkain huruf yang menempel di atasnya. Tak lama, aku siap mengirim pesan itu dan nomor yang aku tuju tak lain adalah nomormu.

“Assalamu’alaikum!" kedengeran suara manggil salam dan aku yakin pasti kau sudah menunggu di luar.

“Wa’alaikum salam" jawabku dengan kaki yang melangkah keluar dan aku sudah di depanmu.

“Kita berangkat sekarang!”.

“ya!”.

Tak berapa lama kau dan aku sudah berada di tempat yang sudah kau janjikan. Beberapa menit berlalu tanpa ada suara.

“Angka satu, aku dan kau melewatinya” kau memulainya

“Aku minta maaf” kata yang terdengar sebuah penyesalan.

“Maaf, kalau selama satu tahun ini aku teramat memnyusahkanmu”

Dengan wajah yang tak mengerti akan apa yang aku ucap kau mencoba bertanya “Bisakah kau mengatakannya selain itu?”

Tentu aku paham dengan kebingunganmu, tapi dengan tatapan yang tak berani ku palingkan untuk sekedar menatapmu aku melanjutkan ucapanku. Ucapan yang mungkin tak pernah kau duga dan aku tahu kalau itu terdengar begitu menyakitkan. Mengingat ini bukanlah hal untuk memutuskan jalinan dan semestinya ini adalah hari untuk mengenang lagi yang pernah terjadi. Kelucuan dan kemarahan yang tak lepas dari cerita kau dan aku.

“Aku bisa nerima bila ini kemauanmu sekarang” kata yang tak pernah ku duga yang kau ucap.

Sekarang dgiliranmu yang terlalu banyak bicara. “Aku sudah tau hubungannya kau dan dia” kata-kata yang lebih tak terduga kau ucapkan lagi.

Kebohongan yang selama satu tahun ini, aku kira kau tak pernah mengetahuinya kini terungkap di hadapanmu. Kau yang terkejut, semestinya. Tapi, nyatanya aku yang kau buat seolah tak berdaya atas semua pengkhianatan ini. Aku yang diam-diam jalan dengan temanmu yang tak lain adalah orang yang nyomblangin kau dan aku. Dan kau yang juga diam-diam mengetahuinnya dan selama itu juga kau berusaha untuk menghapus cintamu untukku. Kini tangisan yang ku kira tangisan yang tak lebih dari penebusan rasa bersalahku selama ini tlah jadi air mata kehilangan.

Semudah itukah kau lupakanku, mungkin pertanyaan itu terlalu egois mengingat selama ini tak sedikitpun cinta yang ku tanamkan di hati untukmu. Inikah caramu membalasnya. Kini dalam pelukmu ku tumpahkan segenap kepedihan yang ku rasa selama ini tak akan ku rasakan meski harus berpisah denganmu. Dan sekarang jadi tangis penyesalan karena hati terlanjur berat untuk menerima semua ini. Dalam tangisku ku sisipkan benih cinta yang tak ku kira ada dan hatiku kini merasakannya. Cinta yang mestinya sejak dulu aku merasakannya sehingga tak kan sedikitpun ku berfikir untuk mengkhianatimu tapi apa yang kini terjadi.

“Tidakkah tersisa cinta dihatimu untukku?”

“Rasa sakit hati terlanjur mengubur cinta untuk kamu” dengan isak tangis kau menjawab.

Entah, air mata itu pertanda apa. Aku mencintaimu dan mungkin ini terdengar konyol atas apa yang sudah ku lakukan tapi sungguh kini sedihku tak lain karena aku mencintaimu dan tak rela bila kini benar kau sudah melupakanku. Wanita itu, jelas ia tak salah. Mungkin dia mampu memberikan apa yang kau harapkan dariku. Sekejam inikah aku dulu, hingga tak sedetikpun aku dikasih kesempatan untuk kembali bertahta dalam hati dan merajai benakmu.

“Jadikan aku kenangan indahmu” permintaan yang tak semestinya dan tak mungkin.

“Apa pun yang terjadi, kau tetap orang yang dulu pernah membahagiakanku.”

“Terima kasih”.

Ucapan yang tak semestinya dan tak pantas ku dapatkan.

Dengan tatapan yang seakan mohon belas kasihmu, aku menatap sendu matamu yang tak lagi bisa ku rasakan bahagia. Yang tersisa kini hanya sedikit kerelaanku berharap kau akan bahagia bersamanya.

“Aku mencintaimu” kata yang ku rasa terlambat untuk diucapkan.

“Aku sayang kamu dan akan relakan kasih ini untuk menyayangimu layaknya adik sendiri” dengan lembut kau mengusap air mataku.

Sentuhan yang tak akan ku rasakan lagi sebagai sentuhan seorang kekasih. Bahagiakanlah dia dan lakukan apa yang mestinya kau berikan untuknya. Kata yang terlalu bijak mengingat aku pun tak bisa melakukannya.

***

Hari-hari kini ku lalui dengan rasa hampa.

Dan pada akhirnya hanya sesalku yang tersisa menemani cinta yang terlambat untukku sadari.

0 komentar:

Don't click here!